yang dikembangkan untuk menutupi kebutuhan pengguna Indonesia.
Jadi perkembangan Linux pun tak berhenti bila ada apa-apa dengan RedHat. Bahkan perusahaan seperti Caldera Linux baru beberapa bulan yang lalu mengakusisi salah satu perusahaan seperti SCO-UNIX. Ini menunjukkan bahwa perusahaan Linux masih memiliki dukungan finansial yang cukup besar.
Beranjak dari kasus di atas, mulai dipertanyakan model bisnis open source. Sebetulnya bentuk bagaimanakah yang ideal? Tak ada satu jawaban yang sama, seperti halnya bisnis TI apakah yang ideal. Hingga saat ini ada beberapa model bisnis yang bisa diterapkan dengan program open source.
1. Support/seller.
Pada model bisnis ini disamping menekankan pada penjualan media distribusi dan branding, juga pada pelatihan, jasa konsultasi, kustomisasi dan dukungan teknis purna jual. Hal tersebut bisa dilakukan secara terpisah. Model inilah yang banyak dilakukan oleh perusahaan distro Linux. Bisa juga perusahaan pembuat distro tidak menyediakan dukungan teknis, tetapi perusahaan lain yang tak membuat distro menjadi penyedia dukungan teknis. Hal ini sangat dimungkinkan dalam model bisnis open source, karena tidak adanya monopoli.
2. Pemberian Jasa Solusi Terpadu.
Pada model bisnis ini, software Open Source tidak berdiri sebagai suatu produk yang dijual. Tetapi akan dikemas menjadi satu dengan jasa lainnya, misal jasa instalasi, kustomisasi, implementasi, pelatihan yang dikemas menjadu satu paket produk. Misal SuSE dengan distribusinya membuka peluang untuk memperoleh proyek di beberapa bank di Jerman. Saat distribusi yang dikemas SuSE ditawarkan dengan solusi terpadu, banyak pihak (terutama di Eropa yang berpusat di Jerman) mempercayai SuSE untuk membangun jaringan mereka, lengkap dengan support dan pelatihan. Sebagai contoh akselerator partikel di Jerman, DESY http://www.desy.de menggunakan SuSE Linux di semua workstation yang digunakannya. Sparkasse Bank di Jerman juga memanfaatkan SuSE Linux.
3. Penjualan perangkat lunak dengan nilai lebih.
Sebagai analogi, bahwa setiap orang bisa memasak air, namun perusahaan Aqua hingga sekarang masih jalan dengan baik. Begitu pula software, jika ditambahkan nilainya, dikemas dengan baik, tentu orang-orang akan membelinya. Yang menjadi tantangan tentulah membangun brand di tengah pasar yang dituju. Sebagai contoh, RedHat yang membundel Software-nya dengan Oracle, UnicenterTNG, hingga merambah ke embedding device dengan menjalin kerja sama ke Ericcson, Hitachi dan Motorolla. Untuk pembundelan dengan hardware, RedHat bekerja sama dengan vendor besar macam IBM. Penambahan nilai yang diberikan oleh RedHat, tentu akan memberikan jaminan lebih tinggi terhadap distribusinya untuk dibeli dan dimanfaatkan secara massal.
4. Program Open Source sebagai service enabler
Sebuah perusahaan yang memiliki core business di dalam penjualan perangkat lunak propietary (baik level aplikasi maupun level sistem operasi yang dibundel dengan hardware), dapat memanfaatkan proyek open source sebagai service enabler (bagian dari perangkat marketing). Adanya software open source yang diberikan perusahaan itu menyebabkan konsumen cenderung akan membeli perangkat keras atau perangkat lunak dari perusahaan tersebut. Hal ini juga dilakukan dengan membantu banyak proyek open source yang bila berjalan akan mendorong ke arah pembelian produk perusahaan tersebut lainnya. Hal ini juga membantu perusahaan dalam menciptakan brand image, bahwa perusahaan tersebut peduli terhadap komunitas. Perusahaan yang menerapkan hal ini misalnya SUN Microsystem yang melepas StarOffice dan SGI (Silicon Graphics) yang merelease Journaling File System dan beberapa aplikasi grafisnya. Ini juga dilakukan beberapa vendor card seperti Creative (Sound Blaster).
5. Software Franchising.
Model bisnis ini merupakan model kombinasi antara brand licensing dan support/seller. Sebuah perusahaan yang memiliki distribusi Linux, dapat membangun sendiri komunitasnya. Dengan model berlangganan, pelanggannya dapat memperoleh fasilitas gratis, dan upgrade gratis. Selain pengguna, juga terdapat didalamnya komunitas reseller, dan kontributor. Untuk itu cukup dikenakan biaya berlangganan dengan nilai yang relatif rendah, namun menjadi berarti saat dikumulatifkan dalam jumlah besar (dengan sasaran komunitas yang berjumlah besar). Model ini mirip trend Application Service Provider dan telah diterapkan oleh Trustix dengan produk Xploy -nya sejak awal. Pengguna tak perlu membeli perangkat lunak. Jelas biaya upgrade tidak dibutuhkan karena sudah termasuk dalam biaya langganan.
6. Widget frosting.
Model ini dilakukan pada dasarnya dengan menjual perangkat keras yang menggunakan program open source untuk menjalankan perangkat keras seperti sebagai driver atau lainnya. Misal pembuatan MP3 player dengan memanfaatkan sistem operasi Linux. Contoh yang sudah banyak beredar adalah Cobalt server, firewall CyberGuard, Radio Internet , dan sebagainya. Penggunaan Linux memungkinkan ongkos produksi lebih rendah untuk menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
7. Accecorizing atau Merchandizing.
Perusahaan mendistribusikan buku, perangkat keras, atau barang fisik lainnya yang berkaitan dengan produk Open Source, misal penerbitan buku OReilly, atau pembuatan boneka, topi dan kaos. Pengguna logo ataupun materi Open Source relatif tidak membutuhkan biaya lisensi ketimbang materi closed source. Penerbitan majalah Linux ini telah diterapkan di Indonesia oleh majalah InfoLinux (yang bakal terbit di awal Januari 2001). Melihat model di atas tampak adanya kecenderungan model bisnis di perangkat lunak makin menyerupai model bisnis pada media. Perkiraan ini seperti yang diutarakan oleh Daniel Burnstein dan David Kline (1995) dalam bukunya, Road Warriors : Dreams and Nightmare along the Information Highway. Perubahan ini cepat atau lambat akan makin terasa tanpa kita sadari. Gratisnya Open Source sering menimbulkan pandangan bahwa tak ada kemungkinan bisnis di dalamnya. Tetapi kalau kita melihat saat ini banyak bisnis memakai model gratis, baik sebagai service enabler atau sebagai fungsi lainnya. Sebagai contoh banyak majalah atau koran yang dibagikan gratis (dalam hal ini pemasukan adalah dari iklan). Di Jerman atau di banyak negara Eropa, handphone bisa didapatkan seharga 0 DM (alias gratis), asalkan pengguna membayar uang langganan per bulan sehingga handphone berfungsi sebagai service enabler. Di Inggris pengguna telah memiliki pilihan melakukan koneksi ke Internet tanpa membayar. Juga dengan adanya software yang bersifat adware, yaitu pengguna mendapat perangkat lunak gratis tetapi harus menonton iklan menunjukkan. Hal ini semua menunjukan bahwa ada suatu peluang bisnis, walau sepintas lalu barangnya gratis. Selain bentuk-bentuk yang sudah berjalan di atas, tidak menutup kemungkinan akan munculnya bentuk-bentuk lain yang lebih kreatif. Hal ini sudah menjadi konsekuensi logis dari sifat open source yang terbuka bebas. Selain kreatifitas, ada dinamika, penghargaan terhadap heterogenitas, hingga nilai sosial yang dibawanya dalam bisnis kapitalis di bidang TI. Sudah saatnya praktisi TI di Indonesia mengambil manfaat dari beberapa contoh kasus di atas, dan mencuri peluang dari terbukanya metode open source. Memang bila kita tidak memahami model Open Source, maka berita seperti runtuhnya harga saham RedHat seperti menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bagi pengguna Linux. tetapi bila kita sadar bahwa model bisnis Open Source sangat berbeda dengan closed source tentunya kita malah melihat suatu kesempatan yang terbuka luas di depan mata. Bila perusahaan sekaliber IBM mulai memperbesar unit Linuxnya (apalagi setelah tersedia port ke mainframe S/390), dan perusahaan seperti Hewlett-Packard (HP) mengontrak Bruce Perens untuk unit Linux-nya. Tentu ada suatu potensi bisnis yang tak bisa disia-siakan. Inginkah kita hanya sebagai penonton terhadap perubahan paradigma ini ? Baru sadar setelah kita kembali menjadi pengikut saja dan medan sudah dikuasai orang lain.
* Penulis:
- I Made Wiryana adalah dosen Universitas Gunadarma dan mahasiswa doktoral
di Universitas Bielefeld - Jerman.
- Fade2Blac (nama samaran) adalah praktisi dan developer Linux.