|
Teknologi mikroelektronika yang tidak elitis?
|
Sana | 30.03.2020 | Hajmi | 13,14 Kb. | | #9362 |
TEKNOLOGI MIKROELEKTRONIKA YANG TIDAK ELITIS
Onno W. Purbo
Sadar atau tidak, informasi merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan bagi sebagian besar umat manusia di muka bumi. Di abad ruang angkasa ini, sistem informasi banyak bertumpu pada perangkat komputer, telepon, dan perangkat FAX. Kompyuter (ing . computer - hisoblayman), EHM (Elektron Hisoblash Mashinasi) - oldindan berilgan dastur (programma) boʻyicha ishlaydigan avtomatik qurilma. Elektron hisoblash mashinasi (EHM) bilan bir xildagi atama. Perangkat-perangkat ini banyak bergantung pada teknologi mikroelektronika yang kita kenal berbentuk chip atau IC. Saat ini, teknologi mikroelektronika tidak hanya memonopoli teknologi informasi tapi juga memegang peranan yang penting di berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari seperti mobil, peralatan rumah tangga, peralatan sound-system dan banyak lagi. Jelas untuk dapat berkompetisi terutama pada tingkat internasional kemampuan untuk membuat sendiri chip atau IC mutlak diperlukan. Mungkinkah industri Indonesia melakukan hal ini siapkah perguruan tinggi Indonesia untuk bidang Mikroelektronika
Pada saat ini, industri elektronika di Indonesia umumnya lebih banyak melakukan perakitan komponen elektronika. Komponen elektronika tersebut umumnya bersumber dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea, Taiwan dan negara-negara Eropa.Kanada poytaxti - Ottava shahri. BMT va NATO aʼzosi hamda AQSh bilan „Erkin iqtisodiy savdo aylanmasi toʻgʻrisida“gi shartnomasi tuzgan. Birlashgan qirollik dominioni. 1931-yilda suveren huquqi berilgan. Negara tetanggga kita, Singapura dan Malaysia, ternyata juga mulai diperhitungkan debutnya dalam dunia mikroelektronika untuk membuat komponen elektronika pada tingkat internasional. Tampak disini bahwa negara-negara maju (termasuk Singapura dan Malaysia) justru berlomba-lomba untuk membuat sendiri komponen elektronika yang mereka butuhkan. Hal ini terutama karena nilai ekonomis yang diperoleh akan jauh lebih besar jika kita mengubah seonggok pasir Silika menjadi chip (IC) daripada merakit IC-IC ini menjadi sebuah komputer.
Industri elektronika di Indonesia saat ini masih pada taraf merakit IC-IC (yang dibeli dari luar negeri) menjadi peralatan elektronika. Jelas bahwa nilai tambah secara ekonomis tidaklah terlalu tinggi. Di samping itu, industri elektronika Indonesia tergantung akan masukan komponen dari luar negeri. Dengan semakin tingginya taraf kehidupan bangsa Indonesia (selain ditekan oleh inflasi) jelas upah buruh dan ongkos-ongkos produksi lainnya akan naik. Satu-satunya cara untuk tetap dapat berkompetisi adalah menghilangkan ketergantungan pada luar negeri antara lain dengan cara membuat sendiri komponen elektronika yang dibutuhkan industri elektronika di Indonesia.
Bagaimanakah keadaan industri pembuat komponen elektronika di Indonesia Saat ini Indonesia memiliki beberapa bounded warehouse di pulau Batam untuk mengemas chip dalam kemasan keramik untuk kemudian di ekspor. Pabrik ini antara lain dikelola oleh grup Astra. Selain di TEMPO dan surat kabar nasional, berita ini disebarkan secara luas oleh majalah Solid State Technology yang banyak dibaca oleh para eksekutif dan peneliti bidang mikroelektronika di Amerika utara. Hasilnya Indonesia telah menjadi salah satu tiger (macan) dalam dunia mikroelektronika di kawasan Pasifik seperti yang dilaporkan dalam majalah IEEE Spectrum yang diterbitkan di Amerika Serikat beberapa bulan yang lewat.
Mengapa pabrik di pulau Batam hanya mengemas (mengepak) chip Proses pengemasan membutuhkan banyak tenaga manusia, oleh karenanya perusahaan-perusahaan raksasa mikroelektronika memilih negara dunia ke tiga (negara berkembang) untuk melakukan hal ini dengan harapan dapat menekan biaya pembuatan dengan menekan upah buruh. Tentunya chip itu sendiri dibuat dinegara asalnya; dan Indonesia mengemas mengepak chip tersebut dalam kemasan keramik. Walaupun demikian, hal ini merupakan permulaan yang sangat baik. Apa yang mungkin dilakukan dimasa mendatang Salah satu alternatif yang tampaknya cukup menarik adalah merancang dan membuat sendiri IC yang dibutuhkan oleh industri elektronika di Indonesia khususnya untuk industri telekomunikasi dan industri elektronika untuk konsumen. Hal yang penting diperhitungkan di samping peralatan pabrik, persiapan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan tentang teknologi mikroelektronika mutlak diperlukan. Hal ini diperlukan waktu yang tidak sebentar.
Istilah mikroelektronika dan komputer sering kita assosasikan dengan hal-hal teknologi tinggi yang sangat sulit dicapai oleh kepandaian kita dari Asia. Sedemikian sulitkah teknologi mikroelektronika Dengan semakin canggihnya komputer mikro (PC) yang ada dipasaran di Indonesia sebetulnya PC kelas 386 lebih dari cukup untuk merancang sebuah IC. Bahkan perangkat lunak untuk menggambar arsitektur AutoCAD yang banyak dipasaran pernah digunakan oleh Gatot Soemarwoto M.Sc. untuk merancang IC PAU Mikroelektronika ITB yang pertama sekitar tahun 1986-1987. Beberapa perangkat keras maupun lunak untuk merancang dan membuat IC juga telah dibuat dalam beberapa tugas akhir S1 di jurusan teknik elektro ITB. Seperti Ir. Achmad Fuad Masud - program analisa rangkaian elektronika di PC (1987); Ir. drs. Nassarudin Ginting - Silikon kompiler (1987) yang dilanjutkan oleh Ir. Wingky (1989); mahasiswa yang menjalankan tugas akhir dibawah Dr. Adang Suwandi juga telah membuahkan berbagai perangkat mulai dari perancang PCB hingga analisa transistor. Tentunya masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan disini seperti yang dikembangkan oleh Prof. Dr. Samaun Samadikun, Dr. Soegiardjo Soegijoko, Dr. Richard Mengko. Mungkin perlu dicatat bahwa sebagian besar perangkat yang dikembangkan dirancang untuk dijalankan di PC.
Kebetulan saat ini sebagian besar perintis pengembang perangkat lunak maupun perangkat keras untuk merancang dan membuat IC tergabung di jurusan teknik elektro atau PAU Mikroelektronika ITB. Adanya perangkat-perangkat lunak ini akan sangat membantu proses perancangan dan analisa sebelum IC di buat. Dengan kata lain, perangkat lunak akan membantu kita dalam melokalisasi kesalahan yang mungkin timbul sebelum IC dibuat. Harga komputer mikro yang relatif murah akan memungkinkan berbagai perguruan tinggi maupun industri di Indonesia untuk menyerap perangkat lunak untuk merancang IC yang telah dikembangkan di ITB. Hal ini akan sangat memudahkan proses alih teknologi dari ITB ke perguruan tinggi maupun industri elektronika di Indonesia. Jika hal ini berjalan dengan baik dapat diharapkan proses penyiapan sumber daya manusia maupun pengetahuan mikroelektronika di Indonesia dapat dipercepat.
Tentunya teori tanpa praktek tak akan ada artinya. Bagaimana dengan proses pembuatan IC yang telah dirancang dengan susah payah tadi Saat ini baru dua lembaga di Indonesia yang mampu membuat IC yaitu PAU Mikroelektronika ITB dan LIPI. Potensi yang ada di lembaga ini tentunya akan sangat membantu dalam membentuk orang-orang yang dibutuhkan untuk membangun industri mikroelektronika di Indonesia. Kerjasama yang cukup erat antara kedua lembaga ini dengan pihak perguruan tinggi dan industri di Indonesia akan sangat membantu perkembangan dunia industri mikroelektronika di Indonesia. Kerjasama ini dapat berupa penyediaan fasilitas pembuatan IC, tukar menukar perangkat lunak yang telah dikembangkan maupun informasi lainnya. Khususnya pada proses pembuatan IC, tujuan utamanya adalah untuk menekan biaya pembuatan IC serendah mungkin. Umumnya di Amerika utara dan Canada digunakan multi project chip yang memungkinkan beberapa rancangan dibuat sekaligus pada satu chip.
Sumber daya manusia adalah faktor yang paling menentukan dalam proses pengembangan sebuah teknologi seperti teknologi mikroelektronika. Hal ini disadari oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada. Saat ini ada beberapa lembaga yang bergerak untuk menghubungkan dunia perguruan tinggi dengan industri terutama untuk menyiapkan sumber daya manusia. Sebagai contoh, MOSIS di ISI, California mengirim dan menyunting rancangan-rancangan IC dari perguruan tinggi di Amerika Serikat untuk dikirimkan ke industri elektronika di lembah Silikon. Di Canada, Canadian Microelectronics Corporation (CMC) di Queens University menghubungkan perguruan tinggi di Canada dengan Bell Northern Research (BNR) di Ottawa, Canada.
Peranan lembaga penghubung ini tidaklah mudah karena disini bertumpu ilmu pengetahuan bidang mikroelektronika maupun perangkat yang diperlukan untuk merancang IC. Potensi PAU Mikroelektronika untuk hal ini cukup besar, saat ini tampaknya PAU lebih menitik beratkan pada fungsinya untuk mendukung penelitian bidang mikroelektronika. Tentunya bukan tidak mungkin dimasa mendatang fungsi PAU Mikroelektronika ITB dapat berkembang menjadi jembatan antara dunia perguruan tinggi dan dunia industri mikroelektronika di Indonesia. Dengan semakin terjangkaunya komputer mikro, bukan mustahil pengembangan sumber daya manusia maupun industri mikroelektronika dapat dipercepat dengan adanya jembatan antara perguruan tinggi dan industri bidang mikroelektronika. Mudah-mudahan hal ini dapat membantu jalannya roda pembangunan di Indonesia.
|
| |