• Struktur dan Komposisi Daging
  • Tabel 2.1 Komposisi Asam Amino Essensial dan Non-Essensial dalam daging
  • Tabel 2.2 Komposisi Kimia Relatif Otot Skeletal Mamalia (%b daging segar)
  • Karakteristik Kualitas Daging
  • Jenis – jenis Bakteri yang Mencemari Daging
  • Tinjauan Kayu Manis ( Cinnamomum burmannii )
  • Gambar 2.2 Tanaman Kayu Manis (kiri), dan Kulit Kayu Manis (kanan)
  • Tabel 2.3 Komposisi Kimiawi Kayu Manis ( Cinnamomum burmannii )
  • Kajian pustaka




    Download 4,34 Mb.
    bet1/4
    Sana01.04.2017
    Hajmi4,34 Mb.
    #2658
      1   2   3   4

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA
    Daging, adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia; selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasan, atau kenikmatan bagi yang memakannya, karena kandungan nutrisinya lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi; Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dikelompokkan menjadi: daging segar yang dilayukan, atau tanpa pelayuan; daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin); daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku) (Soeparno, 2009).


    1. Tinjauan Daging

    Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, dan merupakan komponen utama dari karkas (Soeparno, 2009; Ayustaningwarno, 2014); karkas tersusun dari lemak jaringan adipose, tulang, tulang rawan, jaringan ikat, dan tendo (Soeparno, 2009); sedangkan daging tersusun dari tiga komponen utama, yaitu jaringan lemak (adipose tissue), jaringan ikat (connective tissue), dan jaringan otot (muscle tissue) (Muhtadi, dkk, 2010).

    Jaringan otot terdiri dari: air, protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin; variasi kandungan lemak merupakan faktor utama yang membedakan nutrisi dari bermacam – macam daging. Secara struktural, jaringan otot tersusun dari sel – sel serat mikroskopik yang mengandung protein aktin, miosin, dan ATP; Setelah kematian hewan, ATP akan terurai, sedangkan aktin dan miosin bergabung membentuk rantai aktomiosin, mengakibatkan daging sangat kaku dan keras, setelah periode penyimpanan (pengondisian), kekakuannya berkurang, dan keempukan serta aromanya meningkat. Perubahan yang terjadi selama pengondisian dipengaruhi oleh suhu, pH, dan lama penyimpanan; tahap ini merupakan proses pengubahan jaringan otot hewan menjadi daging (Lean, 2013; Shewfelt, 2013).



    Pada tahap perubahan jaringan otot hewan menjadi daging, glikogen yang terdapat dalam jaringan otot akan terurai menjadi asam laktat, menyebabkan terjadinya penurunan pH (Ayustaningwarno, 2014; Soeparno, 2009), dan denaturasi protein yang diikuti dengan penguraian protein menjadi peptida dan asam amino. Pada tahap ini juga terjadi peningkatan keempukan; kehilangan air dari daging; dan perubahan warna daging dari kemerahan menjadi cokelat, hal ini berkaitan dengan konversi pigmen otot, yaitu mioglobin menjadi metmioglobin, dimana ion besi (II) dalam mioglobin yang berwarna kemerahan dioksidasi menjadi ion besi (III) yang berwarna cokelat (Lean, 2013).


    1. Penyedian Daging

    Untuk mendapatkan daging segar, terlebih dahulu dilakukan hal – hal sebagai berikut:

    1. Pemeriksaan kesehatan hewan yang akan disembelih, hal ini berkaitan dengan kemungkinan adanya penyakit yang dapat ditularkan kepada manusia, misalnya penyakit anthrax, tuberculosis, salmonellosis, dan brucellosis (Muhtadi, 2013).

    2. Penanganan sebelum penyembelihan; sebaiknya hewan diistirahatkan dan tidak banyak mengeluarkan energi, karena jika hewan mengeluarkan banyak energi, maka dagingnya akan cepat menjadi kaku, sehingga menurunkan mutu dan daya simpannya (Buckle, et al, 1985; Soeparno, 2009; Muhtadi, 2013)

    3. Penyembelihan hewan; beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat penyembelihan hewan, adalah:

    1. Hewan harus terbebas dari tanah dan bahan kotoran, serta lokasi penyembelihan, untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri

    2. Hewan harus disembelih secara cepat, dan rasa sakit seminimal mungkin, untuk menghindari tekanan dan pengurangan cadangan glikogen

    3. Semua proses dilakukan secara higienis, untuk mengurangi jumlah dan jenis bakteri pencemar secara maksimal, sehingga bakteri tersebut tidak mudah masuk ke dalam karkas yang baru terbuka

    4. Semua peralatan yang digunakan harus terbuat dari bahan baja tahan karat, dibersihkan dengan air panas atau larutan klorin (Buckle, et al, 1985)

    1. Pelayuan karkas, dilakukan untuk memperoleh daging yang keempukannya optimum, sebelum karkas diambil dagingnya, dengan cara menyimpannya beberapa saat (Muhtadi, 2013)

    2. Pemotongan karkas dan pemotongan daging, mengikuti aturan tertentu untuk masing – masing jenis karkas, sesuai dengan peta rangka tubuh sapi (Murtidjo, 2010; Muhtadi, 2013)

    3. Pelayuan daging, yang dimulai setelah hewan disembelih, dimana dagingnya masih dalam keadaan lunak (fase pre-rigor), kemudian terjadi kontraksi/kekejangan pada semua otot daging sebagai akibat dari serentetan reaksi biokimia yang kompleks, dan pembentukan aktomiosin (fase rigor mortis); pengempukan daging (post rigor) terjadi bila daging/karkas dibiarkan selama beberapa waktu agar fase rigor mortis selesai berlangsung. Waktu yang dibutuhkan pada proses pelayuan tergantung dari suhu dan jenis karkas (Buckle, et al, 1985; Soeparno, 2009; Muhtadi, 2013).




    1. Struktur dan Komposisi Daging

    Daging, terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue); unit struktural jaringan otot adalah serabut otot, yang tersusun dari 1000 – 2000 miofibril, yang dikelilingi sitoplasma (sarkoplasma), dan dilindungi oleh dinding sel (sarkolema); miofibril terdiri dari serabut – serabut halus yang tipis (aktin) dan serabut tebal (miosin), miofibril ini diikat sehingga memberi bentuk yang melintang dan berlapis – lapis. Sarkoplasma, terdiri dari air, inti sel, mitokondria, retikulum sarkoplasma, komplek golgi, glikogen, lemak, bahan – bahan nitrogen non-protein, dan bahan – bahan anorganik (Soeparno, 2009; Muhtadi, dkk, 2013).

    Secara umum, daging terdiri dari air, bahan – bahan yang mengandung nitrogen (protein), mineral, garam dan abu; protein daging, terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal non protein; komposisi kimia daging, tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan, dan metode pengepakan, serta sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak.




    1. Nilai Gizi Daging

    Protein, adalah komponen bahan kering yang terbesar dari daging, karena daging mengandung asam amino essensial yang lengkap dan seimbang (tabel 2.1) (Muhtadi, dkk, 2013); selain protein, otot mengandung air, lemak, karbohidrat, dan komponen anorganik; komposisi kimia relatif otot skeletal mamalia, terlihat pada tabel 2.2 (Soeparno, 2009; Shewfelt, 2013)

    Tabel 2.1 Komposisi Asam Amino Essensial dan Non-Essensial dalam daging

    Jenis Asam Amino Essensial

    Kadar (%)

    Jenis Asam Amino Non Essensial

    Kadar (%)

    Arginin

    6,9

    Alanin

    6,4

    Histidin

    2,9

    Asam Aspartat

    8,8

    Isoleusin

    5,1

    Sistin

    1,4

    Leusin

    8,4

    Asam Glutamat

    14,4

    Lisin

    8,4

    Glisin

    7,1

    Metionin

    2,3

    Prolin

    5,4

    Phenilalanin

    4,0

    Serin

    3,8

    Threonin

    4,0

    Tirosin

    3,2

    Triptofan

    1,1







    Valin

    5,7







    Sumber: Muhtadi, dkk. (2013)

    Tabel 2.2 Komposisi Kimia Relatif Otot Skeletal Mamalia (%b daging segar)

    Komponen

    Persen

    1. Air (65 – 80%)

    75,0

    1. Protein (16 – 22%), terdiri dari: (a) protein myofibril (protein kontraktil, protein pengatur, protein sitoskeletal), (b) protein sarkoplasmi, enzim – enzim yang larut dalam sarkoplasmi dan mitokondria, (c) protein stromal (jaringan ikat dan organella)

    18,5

    1. Lipid (1,5 – 13%), terdiri dari: lemak netral, fosfolipid, serebrosida, dan kolesterol

    3,0

    1. Substansi non-protein nitrogen, terdiri dari: keratin, keratin fosfat, nukleotida (ATP dan ADP)

    1,5

    1. Karbohidrat dan substansi non-nitrogen (0,5 – 1,5%)

    1,0

    1. Konstituen anorganik, terdiri dari kalium, total fosfat, belerang, klorida, natrium, termasuk magnesium, kalsium, besi, kobal, tembaga, seng, nikel, dan mangan

    1,0

    1. Vitamin – vitamin yang larut dalam air dan dalam lemak, dalam jumlah yang sangat sedikit




    Sumber: Soeparno, 2009


    1. Karakteristik Kualitas Daging

    Karakteristik kualitas daging, merupakan karakteristik yang dinilai oleh konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya (kelezatan), yang berkaitan dengan penilaian organoleptik atau sensorik melalui organ pancaindera, sehingga karakteristik kualitas daging meliputi: warna, keempukan, citarasa (flavor), dan kebasahan (juiciness) (Soeparno, 2009; Syamsir, 2011).

    1. Warna Daging

    Pigmen utama yang terdapat dalam daging, adalah hemoglobin yang terdapat dalam darah, dan mioglobin yang terdapat di dalam sel; hemoglobin berperan sebagai pengangkut oksigen dari paru – paru ke seluruh jaringan tubuh, sedangkan mioglobin berperan dalam pengikatan oksigen pada dinding sel yang digunakan untuk metabolisme beberapa metabolit, seperti yang terdapat pada siklus Krebs. Mioglobin merupakan pigmen yang berwarna merah keunguan, warna ini merupakan warna awal pada saat hewan baru disembelih, setelah beberapa saat daging atau karkas kontak dengan oksigen dari udara, warna akan berubah menjadi merah terang, karena terjadi oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin; bila permukaan daging kontak dengan udara dalam waktu yang lebih lama, maka warna akan berubah menjadi coklat, karena oksimioglobin akan dioksidasi menjadi metmioglobin (Soeparno, 2009; Syamsir, 2011; Muhtadi, 2013; Muhtadi, dkk, 2013). Perubahan warna ini dapat dikategorikan normal selama bau daging masih khas daging segar, tetapi mengindikasikan bahwa daging telah lama kontak dengan oksigen, maka sebaiknya segera dibekukan bila tidak langsung dimasak. Jika daging berwarna coklat, dan baunya tidak khas daging segar, maka kondisi ini menunjukkan bahwa daging sudah rusak, dan sebaiknya tidak dikonsumsi. Warma merah keunguan dan merah terang, merupakan warna alami daging segar (Syamsir, 2011).



    Gambar 2.1 Daging Segar

    1. Keempukan

    Keempukan daging sangat mempengaruhi persepsi konsumen dalam menilai kualitas daging; daging dengan tekstur yang halus, lebih mudah empuk dibandingkan dengan teksturnya yang kasar; peningkatan ukuran serabut otot dengan meningkatnya umur hewan, jenis kelamin, aktifitas pergerakan, dan peningkatan jumlah jaringan ikat, akan menurunkan keempukan daging, sedangkan keberadaan lemak marbling akan meningkatkan keempukannya (Soeparno, 2009; Syamsir, 2011; Lean, 2013). Jumlah dan komposisi asam – asam amino, juga mempengaruhi keempukan daging; bila dipanaskan, protein pada jaringan otot akan menggumpal, sedangkan protein jaringan ikat akan menjadi lunak (Muhtadi, 2013). Dengan demikian, keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu: struktur miofibriler dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, serta daya ikat air oleh protein daging dan jus daging (Soeparno, 2009).

    1. Citarasa (Flavor)

    Flavor daging, dihasilkan dari kombinasi berbagai komponen yang menstimulasi reseptor penciuman, dan rasa pada saluran mulut dan hidung; senyawa pembentuk flavor daging, terutama berasal dari komponen – komponen hasil pemecahan protein (peptida dan asam amino), komponen yang larut dalam air, dan gula pereduksi. Perbedaan jenis dan komposisi lemak, umur ternak, serta waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan, merupakam faktor – faktor yang menyebabkan perbedaan flavor (Soeparno, 2009; Syamsir, 2011, Lean, 2013)

    1. Kebasahan (Juiciness)

    Kebasahan (juiciness), adalah kemampuan daging untuk melepaskan cairan/ekstrak daging yang larut dalam air selama pengunyahan; ekstrak daging membantu pencernaan dengan cara menstimulasi sekresi saliva dan getah lambung (Lean, 2013); Juiciness daging sangat dipengaruhi oleh daya ikat air dan jumlah lemak sebagai pelumas dalam mulut, ketika daging dikunyah (Muhtadi, 2013).


    1. Kerusakan Daging

    Kerusakan daging, adalah penyimpangan yang melewati batas penerimaan oleh indra manusia secara normal, ditandai dengan adanya perubahan warna, bau, tekstur, dan tanda – tanda penyimpangan lainnya; ditinjau dari penyebabnya, kerusakan daging meliputi:

    1. Kerusakan kimiawi

    Komponen utama dalam daging, adalah senyawa organik (protein, karbohidrat, lemak) yang berperan dalam berbagai reaksi kimia yang kompleks, terkendali, dan melibatkan sejumlah enzim; ketika hewan disembelih, bermacam – macam reaksi berhenti, namun enzim yang ada masih tetap aktif dan terus mengkatalisis reaksi – reaksi kimia didalamnya, sehingga akan memberikan dampak negatif pada kualitas daging.

    Daging segar dari hewan yang baru dipotong, cenderung liat dan tidak berasa, tetapi setelah proses pelayuan daging, daging menjadi lembut dan beraroma; jika daging disimpan terlalu lama pada suhu ruang, maka daging akan lembek dan tidak layak makan, sebagian disebabkan oleh penguraian protein oleh enzim proteolitik, dan sebagian lainnya disebabkan oleh kontaminasi beberapa bakteri, misal pembentukan lendir dan bau busuk oleh Pseudomonas.



    1. Kerusakan mikrobiologis

    Karena kandungan gizi dan kadar air yang tinggi, daging merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri patogen maupun non patogen; kerusakan pada daging, ditandai dengan perubahan warna, bau, rasa, dan pembentukan lendir; kerusakan ini, biasanya terjadi jika jumlah bakteri mencapai 106 – 108 sel/cm2 luas permukaan daging (Buckle, et al, 1985).

    Bakteri yang merusak daging, berasal dari ternak hidup, dan kontaminasi daging setelah penyembelihan, sedangkan kontaminasi permukaan daging atau karkas terjadi pada saat penyembelihan hewan sampai daging dikonsumsi; sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah, kotoran pada kulit, isi saluran pencernaan, air, peralatan yang digunakan, udara, dan pekerja.

    Bakteri yang berasal dari pekerja, antara lain: Samonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus, Proteus, Staphylococcus aureus, Streptococcus (Lawrie, 1979, dalam Soeparno, 2009), dan Clostridium botulinum yang berasal dari tanah (Soeparno, 2009)

    Selain menyebabkan kerusakan pada daging, beberapa bakteri menghasilkan/memproduksi toksin yang berbahaya bagi manusia (Lean, 2013)



    1. Jenis – jenis Bakteri yang Mencemari Daging

    Jenis – jenis bakteri yang dapat menimbulkan kerusakan pada daging, dan menimbulkan keracunan, antara lain:

    1. Salmonella

    Salmonella sering mengkontaminasi daging mentah dan produk olahan daging (Jawetz, et al, 2005), terutama karkas dan daging selama proses pemotongan; bakteri ini menghasilkan endotoksin, serta dapat menimbulkan sakit (Jawetz, 2005; Soeparno, 2009; Pelczar, et al, 2012; Lean, 2013); gejala umum salmonellosis, adalah: pusing, mual dan muntah, sakit perut perut mendadak dengan diare encer atau berair, kadang – kadang didahului sakit kepala dan menggigil, gejala – gejala ini ada hubungannya dengan endotoksin yang tahan pada pemanasan, dan biasanya hilang dalam waktu 2 – 5 hari (Soeparno, 2009; Pelczar, et al, 2012). Angka kematian yang disebabkan oleh Salmonella (pada kasus keracunan), adalah rendah, dan jumlah kematian terbanyak, biasanya terjadi pada bayi, orang tua, dan individu yang sedang sakit (Soeparno, 2009)

    Beberapa spesies Salmonella yang dapat menyebabkan infeksi makanan, adalah S. typhi, S. paratyphi, S. enteritidis var typhimurium dan varietas – varietas lainnya, serta S. choleraesuis; spesies Salmonella, merupakan batang Gram negatif, motil, tidak membentuk spora, dapat memfermentasi glukosa, tetapi tidak memfermentasi laktosa atau sukrosa (Jawetz, 2005; Pelczar, et al, 2012).



    1. Staphylococcus aureus

    Keracunan oleh bakteri ini, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan dalam daging sebelum dikonsumsi (Jawetz, 2005; Pelczar, et al, 2012; Soeparno, 2009; Lean, 2013); Pada kondisi yang menguntungkan, bakteri ini mampu memperbanyak diri sampai pada populasi yang sangat tinggi pada daging, tanpa mengubah warna, bau, dan flavor yang berarti (Soeparno, 2009; )

    Tanda – tanda keracunan, antara lain: mual, pusing, muntah-muntah, kram usus, diare berdarah dan berlendir pada beberapa kasus, sakit kepala, kram otot, berkeringat, menggigil, detak jantung lemah, pembengkakan saluran pernafasan, dengan waktu inkubasi antara 1 – 8 jam (Siagian, 2002; Jawetz, 2005; Pelczar, et al, 2012; Soeparno, 2009)



    1. Bacillus sp

    Bakteri ini menghasilkan eksotoksin (enterotoksin) pada pangan dalam waktu 12 jam, memecah protein (proteolitik), dan memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, tetapi bila kondisi untuk pertumbuhannya tidak baik, bakteri ini dapat berubah menjadi spora yang kuat dan mampu bertahan hidup dalam pangan kering dalam waktu yang lama (Jawetz, 1986; Soeparno, 2009; Lean, 2013).

    Tanda – tanda keracunan oleh Bacillus, antara lain: pusing, kram usus, diare berair, dan beberapa muntah – muntah, dengan masa inkubasi 1,5 – 5 jam atau 8 – 16 jam (Jawetz, 1986; Siagian, 2002)



    1. Escherichia coli

    Escherichia coli, adalah penghuni normal saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas (Pelczar, et al, 2012), bakteri ini mengkontaminasi karkas/daging pada saat penyembelihan hewan (kontak dengan kotoran pada kulit dan isi saluran pencernaan)

    E. coli menghasilkan dua jenis enterotoksin, yaitu: toksin yang tidak tahan terhadap pemanasan (termolabil), dan toksin yang tahan terhadap pemanasan (termostabil); enterotoksin termolabil menyebabkan hipersekresi dalam usus halus (Karsinah, dkk, 1994; Jawetz et al, 1996)

    Tanda – tanda keracunan oleh E. coli, adalah: diare, biasanya muncul tiba – tiba; pada orang dewasa, biasanya sembuh sendiri dalam waktu 1 – 3 hari (Jawetz, et al, 1996). E. coli menyebabkan keracunan makanan serius dengan menurunnya fungsi organ yang sistematis, dan beberapa kasus menimbulkan kematian pada penderita yang sudah tua atau lemah (Lean, 2013)



    1. Proteus

    Spesies Proteus, terdapat dalam air, tanah, sampah, dan saluran percernaan manusia dan ternak, merupakan batang Gram negatif, bergerak, aerobik, dan tidak berspora, sering menyebabkan pembusukan protein (proteolitik) pangan; bakteri ini telah diidentifikasi dalam kerusakan telur dan daging (Buckle et al, 1985; Soeparno, 2009)

    1. Pseudomonas

    Pseudomonas tersebar luas di alam (air, tanah, sampah, dan udara), dan biasanya berada di lingkungan yang lembab; bersifat invasif dan toksigenik, mengakibatkan infeksi pada manusia dengan penurunan daya tubuh (Jawetz, et al, 2005); bakteri ini merupakan penyebab berbagai jenis kerusakan bahan pangan termasuk daging, yang sebagian besar berhubungan dengan kemampuan spesies ini dalam memproduksi enzim yang dapat memecah protein dan lemak. Banyak spesies Pseudomonas yang dapat berkembang biak dengan cepat pada suhu refrigerasi, serta sering mengakibatkan terbentuknya lendir dan pigmen pada permukaan daging yang didinginkan (Buckle et al, 1985).



    1. Tinjauan Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

    Kayu manis (Cinnamomum sp.), merupakan salah satu tanaman multi fungsi yang dapat digunakan dalam industri makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika atau aromatika; selain itu, juga digunakan sebagai pengawet tanah dan air. Beberapa produk yang dihasilkan dari tanaman kayu manis, adalah: kulit utuh (stik), kayu manis, minyak atsiri, oleoresin, dan bahan untuk pestisida botani. Produk tersebut berasal dari: bagian batang, dahan, ranting, pucuk, daun dan akar tanaman.



    Gambar 2.2 Tanaman Kayu Manis (kiri), dan Kulit Kayu Manis (kanan)

    Kayu manis merupakan salah satu rempah – rempah yang dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi berbagai macam penyakit dan gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, gangguan pencernaan, dan keracunan makanan, karena kayu manis memiliki kemampuan untuk membunuh beberapa jenis bakteri, termasuk Escherichia coli.

    Kulit kayu manis berfungsi sebagai pemanis, pemberi aroma dan pengawet; kemampuan kulit kayu manis sebagai pengawet disebabkan oleh kandungan senyawa antioksidan dan antibakteri (Widaningrum, 2007). Senyawa antibakteri sebagai pengawet, dapat bersifat: bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri, serta germisidal (menghambat germinasi spora bakteri) (Jawetz, et al, 1984; Widaningrum, 2007)

    Kulit kayu manis mempunyai rasa pedas dan manis, berbau wangi, serta bersifat hangat. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kayu manis, diantaranya minyak atsiri eugenol, safrole, sinamaldehide, tannin, kalsium oksalat, dammar, dan zat penyamak (Hariana, 2013), serta beberapa golongan senyawa metabolit sekunder yang lain, seperti: alkaloid, fenil propanoid, flavonoid, turunan 2-piron, benzyl ester, dan turunan alken – alkin (Guenther, 2006). Komposisi kimia kayu manis, terlihat pada tabel 2.1



    Tabel 2.3 Komposisi Kimiawi Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

    Karakteristik

    Komposisi

    Kadar Air

    7,9%

    Minyak Atsiri

    3,4%

    Alkohol Ekstrak

    8,2%

    Abu

    4,5%

    Abu larut air

    2,23%

    Abu tidak larut air

    0,013%

    Serat kasar

    29,1%

    Karbohidrat

    23,3%

    Ether ekstrak yang tidak terbang (non-volatil)

    4,2%

    Zat nitrogen

    0,66%

    BJ rata-rata

    1,02-1,07

    Sumber: Rismunandar, 1989

    Menurut Rismunandar (1989), susunan kimia kayu manis, adalah sebagai berikut:



    1. Dalam kulit kayu manis, masih banyak komponen – komponen kimia lainnya, seperti: dammar, pelekat, tannin (zat penyamak), gula, kalsium oksalat, kumarin, cinnzelanin dan cinnzelanol yang berperan sebagai insektisida alami

    2. Komponen terbesar minyak atsiri kulit kayu manis, adalah sinamaldehida (60 – 70%), eugenol, beberapa jenis aldehida, benzoat, dan lainnya. Sinamaldehida merupakan komponen volatil yang memberikan aroma dan flavor


    Download 4,34 Mb.
      1   2   3   4




    Download 4,34 Mb.